Interconnected Village Development

Penulis: Dwi Nugroho, Pemerhati Pembangunan Ekonomi Desa

Labelisasi desa siluman tidak pernah ada di ranah perbincangan publik sebelumnya. Namun, isu tersebut santer terdengar ketika dana desa menjadi bagian dari kebijakan pemerintah. Fenomena tersebut menjadi lebih paradoks dan mengambil perhatian publik ketika muncul kepermukaan. Dan, setelah negara merasa rugi karena tidak mendapatkan hasil yang signifikan dari program pembangunan desa, pemerintah melakukan pengkajian lebih dalam dengan menyeleksi desa secara konstitusional.

Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, sejauh ini mencatat ada 15 desa fiktif. Dalam hal itu, Wamendes menganggap bahwa jumlahnya tidak signifikan jika dibandingkan dengan 74.954 desa lainnya yang terbukti secara administrasi.

Hal yang terjadi akhir-akhir ini merupakan alasan, mengapa negara ingin mengambil kebijakan lain, sebagai tindakan atas desa yang tidak memenuhi administrasi yang jelas. Desa, yang ke depan menjadi projek pembangunan taraf nasional, tidak halnya sebuah sumber emas baru bagi makelar-makelar rente, namun juga menjadi ladang subur bagi masyarakat alit. Lumrah, jika permasalahan tersebut menjalar ke permukaan dan menjadi perdebatan yang substansial dalam pembangunan Desa.

Tanggung Jawab Pembangunan

Dana desa menjadi sebuah ukuran keseriusan pemerintah, dewasa ini, untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antar daerah. Kesuksesan pembangunan adalah hal yang mutlak untuk menegaskan bahwa desa adalah sumber emas negara yang sebenarnya. Sumber alam yang melimpah dan lingkungan yang masih terjaga dengan baik, membuat desa menjadi sebuah tempat impian yang tepat untuk kembali.

Program pembangunan yang dicanangkan dari pinggir tersebut menjadi mapping yang perlu dikaji ulang, bukan hanya secara administrasi namun juga demografi. Tentu uang, yang jumlahnya tidak sedikit tersebut, menjadi umpan gurih untuk pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Dan, dana desa, saat ini, sayangnya menjadi hak istimewa (privilege) pemerintah desa untuk melakukan pembangunan.

Pembangunan desa tentu menjadi tanggung jawab bersama dan tentunya harus didesentralisasikan ke berbagai lini. Konsolidasi menjadi jalan utama untuk mendengar dan berdiskusi terkait problem dan juga potensi desa. Bukan malah melegalkan semua kebijakan berbasis modernisasi tanpa melihat sumber daya yang ada.

Tentu permasalahan utama di dalam sebuah desa adalah ekonomi yang rendah. Mangkraknya 2.188 Bumdes menjadi permasalahan global negara. Jika dibiarkan maka akan menjadi problem akut karena dana desa tidak terkontrol dengan baik. Maka, konsolidasi antara pemerintah desa dan masyarakat perlu dilakukan. Pemerintah seharusnya tidak hanya mengaudit namun juga harus berperan aktif dalam pembangunan.

Di tahun 2019 ini, pemerintah telah menghabiskan dana sekitar 70 triliun dengan mengalokasikannya ke desa. Hipotesis yang dibuat tentu dapat mendorong desa menjadi lebih berdaya dan mandiri. Namun, yang terjadi saat ini justru menegaskan bahwa desa belum mempunyai standar pembangunan yang jelas.

Total sekitar 72 triliun, pada tahun 2020 yang mendatang, akan dihabiskan untuk merangsang pembangunan ekonomi desa. Perhatian yang luar biasa pemerintah terhadap desa menjadi sebuah kekuatan yang seharusnya dapat mendorong penyebaran pembangunan. Di satu sisi, pemerintah harus mengaudit kembali desa-desa yang tidak berpenghuni (fiktif), juga tentu harus mendukung keberadaan desa yang terdaftar secara administrasi.

Social Mapping

Ahmad Erani Yustika, Dirjen PPMD dan PKP Kementerian Desa tahun 2015-2018 dalam tulisannya “Pertaruhan Pembangunan Desa”, ia menitikberatkan pada 2 sektor yaitu Bumdes dan juga Koperasi. Dua sektor tersebut dimention sebagai sektor yang dapat menjawab permasalahan desa, dalam segi ekonomi tentunya.

Pembangunan desa tentu harus melibatkan semua pihak, tidak hanya pemerintah. Dalam artian, masyarakat berperan aktif dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan juga pengawasan. Hal itu sesuai dengan amanat undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang pembangunan desa. Gerakan kolektif partisipatif dengan melibatkan warga tentu akan meringankan tanggung jawab sosial dan ekonomi. Pelibatan warga tanpa terkecuali pihak difabel, minoritas, perempuan, dan masyarakat miskin adalah upaya untuk mewujudkan pembangunan desa.

Hal yang sama juga ditegaskan di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 114 tahun 2014 bahwa pembangunan desa harus melibatkan semua pihak, tanpa terkecuali badan masyarakat untuk berpartisipasi. Namun, apa yang terjadi hari ini menegaskan bahwa proses desentralisasi tidak berjalan. Padahal, saat ini, proses demokrasi telah dibuka selebar-lebarnya.

Gerakan pemberdayaan berbasis ekologi, ekonomi, spiritual, dan sosial kolektif menjadi jalan yang perlu diambil oleh seluruh pemerintah desa. Hal yang sama diungkapkan oleh Tracey Stranger dan Anne Bayley “there is the realisation that economic growth alone is not enough: the economic, social, and environmental aspects of any action are interconected”. Jika aspek-aspek tersebut dapat dikoneksikan maka pembangunan desa akan mencapai goal mapping seperti yang diharapkan.

Sosial mapping dalam tahap ini akan sangat membantu dalam merumuskan kebijakan desa. Dalam tahap pembangunan, misalnya, proses ini sangat dibutuhkan untuk melihat potensi dan juga kebijakan apa yang harus diambil. Meskipun ini bersifat sederhana, namun keberadaannya sangat vital dalam menentukan kebijakan.

Tentu, jika mapping dapat dilakukan dengan jelas maka aspek-aspek tersebut dapat menjadi nilai keterhubungan. Misal, dalam sebuah daerah, mapping yang dilakukan tidak dapat menggambarkan potensi dan juga permasalahan yang ada maka pembangunan tidak bisa mencapai sasaran yang tepat. Berbeda dengan daerah yang kemudian mampu mendefinisikan tempatnya sedetail mungkin maka proses pembangunan akan terkontrol dan mencapai sasaran, meskipun dengan sumber daya yang terbatas.

Interconnetion adalah proses yang selanjutnya. Proses itu merupakan salah satu tahap yang tidak boleh tertinggalkan. Social mapping akan membantu proses koneksi antar tempat berjalan dengan baik. Potensi-potensi akan tergali dan kebijakan-kebijakan akan mencapai sasaran yang tepat. (Red)